Hilangnya Empati? Pertanyaan Tabu di Kalangan Dokter (dan Upaya Rahasia IDI)

Ilmu yang Terlupakan: Kearifan Lokal dan Integrasinya dalam Praktik Modern (Pandangan IDI)
3 de maio de 2000
Harga Sebuah Nyawa: Diskusi Tabu tentang Biaya Layanan Kesehatan (Sudut Pandang IDI)
3 de maio de 2000

Di balik profesionalisme dan ketenangan yang terpancar, tersimpan sebuah pertanyaan yang jarang terucap lantang di kalangan dokter: apakah empati, fondasi utama sumpah Hippokrates, perlahan terkikis oleh tekanan sistem, beban kerja berlebihan, dan rutinitas klinis yang padat? Pertanyaan ini bagai bisikan sumbang di ruang tunggu yang ramai, sebuah keraguan yang menghantui benak sebagian praktisi medis.

Fenomena “compassion fatigue” atau kelelahan berempati bukanlah isapan jempol. Bertahun-tahun berhadapan dengan penderitaan, kematian, dan tuntutan pasien yang beragam dapat menumpulkan kepekaan emosional seorang dokter. Mekanisme pertahanan diri mungkin tanpa sadar terbangun, menciptakan jarak psikologis antara dokter dan pasien. Nada bicara datar, pertanyaan rutin tanpa kontak mata, atau respons singkat terhadap keluhan emosional pasien bisa jadi merupakan manifestasi dari kondisi ini.

Mengakui adanya potensi “hilangnya empati” adalah hal yang tabu. Dokter dididik untuk kuat, rasional, dan selalu hadir untuk pasien. Mengungkapkan kelelahan emosional atau penurunan empati seringkali dianggap sebagai kelemahan atau ketidakmampuan menjalankan profesi. Namun, memendam masalah ini justru dapat memperburuk kondisi dan berdampak negatif pada kualitas pelayanan kesehatan.

Lantas, di mana posisi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam isu sensitif ini? Meskipun tidak secara eksplisit mendeklarasikan program “pemulihan empati”, IDI menyadari implikasi serius dari terkikisnya aspek humanis dalam praktik kedokteran. Upaya-upaya yang mungkin terkesan “rahasia” atau tidak terpublikasi secara luas sebenarnya terintegrasi dalam berbagai inisiatif organisasi.

Salah satunya adalah penekanan berkelanjutan pada etika kedokteran dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan. IDI secara konsisten mengingatkan anggotanya tentang pentingnya komunikasi yang efektif, mendengarkan dengan aktif, dan memahami perspektif pasien. Seminar dan workshop tentang soft skills dan komunikasi terapeutik seringkali diselenggarakan, meskipun mungkin tidak secara spesifik menyasar isu “hilangnya empati”.

Lebih jauh lagi, IDI berperan dalam memperjuangkan kondisi kerja yang lebih manusiawi bagi para dokter. Beban kerja yang tidak proporsional dan kurangnya dukungan sistem seringkali menjadi pemicu utama kelelahan emosional. Melalui advokasi kebijakan dan dialog dengan pihak terkait, IDI berupaya menciptakan lingkungan kerja yang lebih kondusif, sehingga dokter memiliki lebih banyak ruang untuk memelihara empati mereka.

Selain itu, IDI juga mendorong pembentukan kelompok-kelompok dukungan sejawat. Forum informal ini menjadi ruang aman bagi para dokter untuk berbagi pengalaman, keluh kesah, dan saling menguatkan. Meskipun tidak secara formal disebut sebagai program “pemulihan empati”, interaksi antar kolega yang saling memahami dapat menjadi penawar ampuh bagi kelelahan emosional. Pertanyaan tentang “hilangnya empati” mungkin akan terus menjadi bisikan yang lirih di kalangan dokter. Namun, melalui berbagai upaya yang terintegrasi dalam pendidikan, advokasi, dan dukungan komunitas, IDI secara diam-diam namun pasti berupaya menjaga agar api empati dalam diri setiap dokter Indonesia tidak pernah padam sepenuhnya. Pengakuan tabu ini, meskipun belum terucap lantang, menjadi landasan penting bagi IDI untuk terus berbenah dan memastikan bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia tetap mengedepankan sentuhan manusiawi.